Bo Derek, seorang aktris Amerika, mempopulerkan kalimat “whoever said money can’t buy happiness simply didn’t know where to go shopping“. Implementasi langsung dari kebahagiaan yang diperoleh dari berbelanja merupakan keseharian dari tokoh utama Rebecca Bloomwood (Isla Fisher) dalam film Confessions of A Shopaholic yang dirilis 2009. Dalam suatu adegan Rebecca mengatakan “When I shop, the world gets better, and the world is better, but then it’s not, and I need to do it again”.
Rebecca digambarkan sebagai seorang perempuan muda yang hidup di pusat kota dan sangat gila belanja. Untuk memenuhi hasrat belanjanya, Rebecca memiliki banyak kartu kredit yang hingga akhirnya dia tidak mampu membayar karena penghasilannya tidak cukup untuk membayar tagihan kartu kreditnya. Kegilaannya dalam berbelanja kemudian menghancurkan hidupnya, hubungan dengan sahabatnya dan karirnya. Hal tersebut diperburuk dengan Rebecca yang selalu menghindari penagih hutang yang mendatanginya.
Sesungguhnya Confessions of A shopaholic sangat tepat disimak bagi kita yang hidupnya besar pasak daripada tiang. Harus saya tulis di sini untuk memperjelas bahwa porsi terbesar dari pesan moral dari film ini adalah untuk pelajaran perencanaan keuangan pribadi. Yakni bagaimana mengatur pengeluaran dengan membedakan mana kebutuhan dan keinginan. Jadi agak berbeda sudut dengan tujuan dari rubrik ini yakni pelajaran bisnis. Jadi yang akan saya ulas selanjutnya adalah tetap unsur bisnisnya yang tetap tersirat walau agak tertutup oleh edukasi untuk kurangi nafsu berbelanja.
Seperti yang disebut di atas, Rebecca memenuhi hasrat belanjanya adalah karena dia memiliki banyak kartu kredit. Sehingga saat dia membeli sehelai scarf hijau seharga $120, Rebecca mengkombinasikan tiga kartu kredit dan uang tunai untuk membayarnya. Pertanyaannya, apakah kartu kredit yang banyak itu merupakan ancaman/threat?
Tentu saja, justru itulah yang memungkinkan Rebecca berbelanja melebihi kemampuannya. Karena meski tidak memiliki uang, Rebecca tetap dapat memiliki barang yang diinginkannya (meski tidak dibutuhkannya). Ini kalau sudut pandangnya adalah perencanaan keuangan pribadi, tapi kalau dari sisi bisnis ini adalah peluang/opportunity. Mari kita simak lagi, Rebecca berbelanja melebihi kemampuannya karena memiliki banyak kartu kredit. Ini adalah peluang bagi toko yang didatangi Rebecca karena, sekali lagi, dapat berbelanja melebihi kemampuannya.
Seharusnya toko menjadikan orang-orang sebagai Rebecca ini sebagai pasar sasaran. Ditambah Rebecca digambarkan sebagai orang yang cepat berimajinasi saat mencari pembenaran bahwa barang yang dipegangnya adalah kebutuhan, bukan sekedar keinginan. Pelanggan seperti ini cukup dipancing sedikit maka bisa langsung transaksi.
Pelajaran penting lainnya yang dijumpai di film tersebut adalah penerapan ilmu klasik dari Michael Porter tentang keunggulan bersaing/competitive advantage yang bisa diraih melalui biaya yang lebih rendah, fokus, atau memiliki diferensiasi. Rebecca dalam beberapa kesempatan menunjukkan diferensiasinya yang memberikan hasil positif. Mulai dari saran gamblang ke seorang pemimpin bank mengenai tampilan kantor banknya yang membosankan, artikel yang tidak biasa, dan sampai menampar orang saat berkenalan. Semuanya ternyata berhasil dan menguntungkan bagi perusahaan tempat Rebecca bekerja. Tentang penerapan diferensiasi ini sulit dinarasikan ke artikel bisnis, tidak akan pas.
Pelajaran terakhir yang bisa dipetik adalah produk akan lebih berhasil dijual dengan harga lebih tinggi jika terasosiasi dengan sesuatu. Dalam artikelnya Rebecca tidak menulis namanya sebagai penulis melainkan menulis identitasnya sebagai “the girl with the green scarf”. Ide scarf hijau ini spontan diperolehnya karena dia menggunakannya di hari pertama bekerja. Harga beli scarf hijau tersebut sudah disinggung di atas, yakni $120. Di akhir film, scarf hijau ini dilelang. Host lelang mengenalkan scarf hijau sebagai sebuah revolusi yang memulai kegilaan dari suatu artikel di majalah, sebuah ikon, lentur dan warnanya sesuai uang dollar. Kalimat pembuka tersebut berhasil membuat para peserta lelang saling meningkatkan tawarannya untuk memperoleh scarf tersebut. Akhirnya terjual di harga $300, untung 150% dari harga saat scarf tersebut dibeli. (sumber foto: IMDB)